Secara etimologis emosi berasal dari kata Prancis emotion,
yang berasal lagi dari emouvoir, ‘exicte’ yang berdasarkan kata Latin emovere,
artinya keluar. Dengan demikian secara etimologis emosi berati “bergerak
keluar”.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa emosi adalah suatu
keadaan kejiwaan yang mewarnai tingkah laku. Emosi juga diartikan sebagai suatu
reaksi psikologis dalam bentuk tingkah laku gembira, bahagia, sedih, berani,
takut, marah, muak, haru, cinta, dan sejenisnya. Biasanya
emosi muncul dalam bentuk luapan perasaan dan surut dalam waktu yang singkat.
Hathersall (1985) merumuskan pengertian emosi sebagai suatu psikologis yang
merupakan pengalaman subyektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh.
Misalnya seorang remaja yang sedang marah memperlihatkan muka merah, wajah
seram, dan postur tubuh menegang, bertingkah laku menendang atau menyerang,
serta jantung berdenyut cepat.
Selanjutnya Keleinginna and Keleinginan (1981) berpendapat
bahwa emosi seringkali berhubungan dengan tujuan tingkah laku. Emosi sering
didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling), misalnya pengalaman-pengalaman
afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan, marah, takut bahagia, sedih dan
jijik.
Emosi merupakan perpaduan dari beberapa perasaan yang
mempunyai itensitas yang relatif tinggi, dan menimbulkan suatu gejolaksuasana
batin, suatu stirred up or aroused state of the human organization. Dari
berbagai pengertian emosi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa emosi
merupakan reaksi psikologi seseorang dalam bertindak atau melakukan suatu
tindakan, misalnya menangis, marah, benci, takut, sedih, haru, cinta, muak,
bahagia dan lain-lain.
1. Faktor Internal
Umumnya emosi seseorang muncul berkaitan erat dengan apa yang
dirasakan seseorang secara individu. Mereka merasa tidak puas, benci terhadap
diri sendiri dan tidak bahagia. Adapun gangguan emosi yang mereka alami antara
lain adalah:
a. Merasa tidak terpenuhi kebutuhan fisik mereka
secara layak sehingga timbu ketidakpuasan, kecemasan dan kebencian terhadap apa
yang mereka alami.
b. Merasa dibenci, disia-siakan, tidak mengerti dan
tidak diterima oleh siapapun termasuk orang tua mereka.
c. Merasa lebih banyak dirintangi, dibantah, dihina
serta dipatahkan dari pada disokong, disayangi dan ditanggapi, khususnya
ide-ide mereka.
d. Merasa tidak mampu atau bodoh.
e. Merasa tidak menyenangi kehidupan keluarga mereka
yang tidak harmonis seperti sering bertengkar, kasar, pemarah, cerewet dan
bercerai.
f. Merasa menderita karena iri terhadap saudara
karena disikapi dan dibedakan secara tidak adil.
2. Faktor eksternal
Menurut Hurlock (1980) dan
Cole (1963) faktor yang mempengaruhi emosi adalah :
a. Orang tua atau guru memperlakukan mereka seperti
anak kecil yang membuat harga diri mereka dilecehkan.
b. Apabila dirintangi, anak
membina keakraban dengan lawan jenis.
c. Terlalu banyak dirintangi dari pada disokong,
misalnya mereka lebih banyak disalahkan, dikritik oleh orang tua atau guru,
akan cenderung menjadi marah dan mengekspresikannya dengan cara menentang
keinginan orang tua, mencaci maki guru, atau masuk geng dan bertindak merusak
(destruktif).
d. Disikapi secara tidak adil oleh orang tua,
misalnya dengan cara membandingkan dengan saudaranya yang lebih
berprestasi dan lainnya.
e. Merasa kebutuhan tidak
dipenuhi oleh orang tua padahal orang tua mampu.
f. Merasa disikapi secara otoriter, seperti dituntut
untuk patuh, banyak dicela, dihukum dan dihina.
Nilai (value) merupakan rujukan dan keyakinan dalam menentukan
pilihan, ukuran untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk. Nilai
adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasaan, aturan
agama, dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi
seseorang dalam menjalani kehidupannya. Nilai-nilai kehidupan adalah
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan
santun (Sutikna, 1988 : 5). Sopan santun, adat, dan kebiasaan serta nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai hidup yang menjadi pegangan
seseorang dalam kedudukannya sebagai warga negara Indonesia dalam hubungan
hidupnya dengan negara serta dengan sesama warga negara.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang termasuk
dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, antara lain:
1. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan
persamaan kewajiban antara sesama manusia.
2. Mengembangkan sikap tenggang
rasa.
3. Tidak semana-mena terhadap orang lain, berani membela
kebenaran dan keadilan, dan sebagainya.
Moral adalah
ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan
sebagainya (Purwodarminto, 1957 : 957). Dalam moral diatur segala perbuatan
yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan sesuatu perbuatan yang dinilai tidak
baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan
antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan
kendali dalam bertingkah laku.
Sikap adalah
keseluruhan dari kecenderungan dan perasaan, pemahaman, gagasan, rasa takut,
perasaan terancam dan keyakinan-keyakinan tentang suatu hal. Sikap adalah
kesiapan seseorang untuk memperlakukan sesuatu objek. Dengan kata lain bahwa
sikap itu adalah kecenderungan bertindak pada seseorang.
Sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku
seseorang, dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi dan akan
diperbuat jika telah diketahui sikapnya. Sikap belum merupakan suatu tindakan
atau aktivitas, akan tetapi berupa kecenderungan (predisposisi) tingkah laku. Jadi
sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu
sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut.
Menurut Danel Suasanto, pertumbuhan
ataupun perkembangan pada masa remaja biasanya ditandai oleh beberapa
perubahan-perubahan seperti dibawah ini :
1. Perubahan Fisik
Pada masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang
cepat dan proses kematangan seksual. Beberapa kelenjar yang mengatur fungsi
seksualitas pada masa ini telah mulai matang dan berfungsu. Disamping itu
tanda-tanda seksual sekunder telah mulai nampak pada diri remaja.
2. Perubahan intelek
Menurut perkembangan kognitif yang dibuat oleh
Jean Piaget, seorang remaja telah beralih
dari masa konkrit-operasional ke masa formal-operasional. Pada masa
konkrit-operasional, seseorang mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal atau
obyek-obyek yang bersifat konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah
mampu berpikir se-cara sistematis terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan
hipotetis. Pada masa remaja, seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis.
3. Perubahan emosi
Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi
labil. Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall,
perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada
kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya
menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa
pengaruh lingkungan sosial terhadap per-ubahan emosi pada masa remaja lebih
besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh hormonal.
4. Perubahan sosial
Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia
dianggap bukan lagi anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik
yang sangat cepat sehingga menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja juga
sering diharapkan bersikap dan bertingkahlaku seperti orang dewasa. Pada masa
remaja, seseorang cenderung untuk meng-gabungkan diri dalam ‘kelompok teman
sebaya’. Kelompok so-sial yang baru ini merupakan tempat yang aman bagi remaja.
Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali
melebihi pengaruh keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D.
Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang
luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan
melakukan hubungan sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila
ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi
“overacting’ dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.
5. Perubahan moral
Pada masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral:
dari luar menjadi dari dalam. Pada masa ini terjadi juga perubahan dari konsep
moral khusus menjadi prinsip moral umum pada remaja. Karena itu pada masa ini
seorang remaja sudah dapat diharapkan untuk mempunyai nilai-nilai moral yang
dapat melandasi tingkahlaku moralnya. Walaupun demikian, pada masa remaja,
seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan
wajar, sejauh kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari moraliatas yang
berlaku, tidak terlalu merugikan masyarakat, serta tidak berkelanjutan setelah
masa remaja berakhir.
Teori
Perkembangan Moral
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya
teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku
yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara
internal.
Teori Perkembangan moral
dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada
masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :
Tingkat Satu : Penalaran Prakonvensional.
Penalaran Prakonvensional adalah : tingkat yang paling
rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak
memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral dikendalikan
oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol
oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan
tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.
Tahap I. Orientasi hukuman dan ketaatan.
Yaitu : tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral
didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk
taat
Tahap II. Individualisme dan tujuan
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan
(hadiah)dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila
yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah
apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
Tingkat Dua : Penalaran Konvensional
Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi
individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-stándar
(Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti
orang tua atau aturan-aturan masyarakat.
Tahap III. Norma-norma Interpersonal
Yaitu dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan
kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral.
Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang terbaik.
Tahap IV Moralitas Sistem Sosial
Yaitu dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman
atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
Tingkat Tiga : Penalaran Pascakonvensional
Yaitu Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas
benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang
lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki
pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.
Tahap V. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual
Yaitu nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan
bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.
Tahap VI. Prinsip-prinsip Etis Universal
Yaitu seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang
didasarkan pada hak-hak manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu
menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara
hati.
Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan
yakin bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan
usia. Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung pada prakonvensional. Pada
masa awal remaja cenderung pada konvensional dan pada awal masa dewasa
cenderung pada pascakonvensional. Demikian hasil teori perkembangan moral
menurut kohlberg dalam psikologi umum.
Ketika kita khususkan dalam memandang teori perkembangan
moral dari sisi pendidikan pada peserta didik yang dikembangkan pada lingkungan
sekolah maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu :
Tingkat Satu : Moralitas Prakonvensional
Yaitu : ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana
mulai dari usia 4-10 tahun yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan
tradisi sosial.Yang man dimasa ini anak
masih belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Pada tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan
anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan
kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum. Dalam konsep moral menurut
Kohlberg ini anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman
akibat keburukan tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan penghindaran
dari hukuman.
Tahap 2. Memperhatikan Pemuasan kebutuhan.
Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan
keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
Tingkat Dua : Moralitas Konvensional
Yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase
perkembangan yuwana pada usia 10-13 tahun yang sudah menganggap moral sebagai
kesepakatan tradisi sosial.
Pada Tingkat II ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 3. Memperhatikan Citra Anak yang Baik
Maksudnya : anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan
patokan moral agar dapat memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk
menghindari hukuman.
Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya,
jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan. Dalam hal ini
terdapat pada pendidikan anak.
Pada tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma
Interpernasional ialah : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian,
dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral.
Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil
mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak yang baik.
Tahap 4. Memperhatikan Hukum dan Peraturan.
Anak dan remaja memiliki sikap yang pasti terhadap wewenang dan
aturan.Hukum harus ditaati oleh semua orang.
Tingkat Tiga : Moralitas
Pascakonvensional
Yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan
pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang moral lebih dari
sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam
artian disini mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah
nilai yang harus dipakai dalam segala situasi.
Pada perkembangan moral di tingkat 3 terdapat 2 tahap yaitu
:
Tahap 5. Memperhatikan Hak Perseorangan.
Maksudnya dalam dunia pendidikan itu lebih baiknya adalah remaja
dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan
dan patokan sosial.
Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.. Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu.
Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.. Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu.
Tahap 6. Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika.
Maksudnya : Keputusan mengenai perilaku-pwerilaku sosial
berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber dari hukum
universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang
lain.Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun
sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan
sosial. Contoh : Seorang suami yang tidak punya uang boleh jadi akan mencuri
obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa melestarikan
kehidupan manusia merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri
itu sendiri.
Referensi:
Nana Syaodih Sukmadinata, Landsan
Psikologi Psoses Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya,Bandung:2011
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung
: PT Remaja Rosdakarya),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar