Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Minggu, 07 Juni 2015




     Belajar adalah “key term” yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan. Menurut (Slameto,2010) belajar didefinisikan sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya, selain itu (Mustaqim dan Abdul Wahib,2010) mendefinisikan bahwa belajar itu adalah usaha untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi atau situasi-situasi di sekitar kita,dalam menyesuaikan diri itu termasuk mendapatkan kecekatan pengertian-pengertian yang baru ,atau sikap-sikap yang baru.Jadi dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwasannya belajar itu adalah suatu proses perubahan, perubahan-perubahan itu tidak hanya perubahan  lahir tetapi juga perubahan batin, tidak hanya perubahan tingkah lakunya yang tampak, tetapi dapat juga perubahan-perubahan yang tidak dapat diamati. Perubahan-perubahan itu bukan perubahan negatif, tetapi perubahan yang positif, yaitu perubahan yang menuju ke arah kemajuan atau ke arah perbaikan. Kata “belajar” itu sendiri sebenarnya sudah lama muncul didalam persefektif pendidikan, sejak dari manusia baru dilahirkan dimuka bumi hingga beranjak dewasa dan tua kegiatan belajar masih saja terus dilakukan, misalnya saja dalam perkembangan kecakapan berbicara. Secara yuridis nasional Indonesia  mengatur sistem pendidikan (yang termasuk belajar) didalam berbagai ketentuan konstitusional. Baik dalam UUD 1945 maupun dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan lainya. 

Teori belajar berpangkal pada pandangan hakikat manusia, yaitu hakikat manusia menurut pandangan John Locke yaitu manusia merupakan organisme yang pasif. Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan ini muncul aliran belajar behavioristik-elementeristik. Sedangkan menurut Leibnitz pandangan mengenai hakikat manusia adalah organism yang aktif. Manusia merupakan sumber daripada semua kegiatan. Pada dasarnya manusia bebas untuk berbuat, manusia bebas untuk membuat pilihan dalam setiap situasi. Titik pusat kebebasan ini adalah kesadarannya sendiri. Dari pandangan ini muncul aliran belajar yaitu belajar kognitif-holistik.
     Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan. Dalam teori belajar ini, yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau out put yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan, karena tidak dapat diamati dan diukur. Yang hanya dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa yang dihasilkan siswa (respon), semuanya dapat diamati dan diukur.[1] Premis dasar teori belajar behavioristik menyatakan bahwa interaksi antara stimulus respons dan penguatan terjadi dalam suatu proses belajar. Teori belajar behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar, yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat. Hasil belajar diperoleh dari proses penguatan atas respons yang muncul terhadap stimulus yang bervariasi. Salah satu teori belajar behavioristik connectionism dari Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan proses coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus. Respons yang benar akan semakin diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respons yang tidak benar akan menghilang. Dari teori ini Thorndike mengemukakan hukum belajar yang disebut law of effect artinya jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat.sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus respons tersebut.[2]
     Ciri dari teori belajar behavioristik adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Dalam hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori behavioris. Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk memahami materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia nyata atau situasi. Little tanggung jawab ditempatkan pada pembelajar mengenai pendidikannya sendiri.
     Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.[3]
     Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
     Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
     Langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan teori behaviorisme dalam proses pembelajaran adalah:
     1.  Mengidentifikasi tujuan pembelajaran;
     2.  Melakukan analisis pembelajaran;
     3.  Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal pembelajar;
     4.  Menentukan indikator-indikator keberhasilan belajar;
     5.  Mengembangkan bahan ajar (pokok bahasan, topik, dll);
     6.  Mengembangkan strategi pembelajaran (kegiatan, metode, media dan waktu);
     7.  Mengamati stimulus yang mungkin dapat diberikan (latihan, tugas, tes dan sejenisnya);
     8.  Mengamati dan menganalisis respons pembelajar;
     9.  Memberikan penguatan (reinfrocement) baik posistif maupun negatif; serta
     10.Merevisi kegiatan pembelajaran.
     Ada beberapa tokoh teori behavioristik. Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut antaranya adalah Thorndike dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
     Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
     Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hokum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
     Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
     Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

C.     Teori Belajar Kognitivisme
   Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
     Menurut teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam bertingkah laku dan mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-tingkat perkembangan dan pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap orang memiliki kepercayaan, ide-ide dan prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya.
   Teori kognitif berasal dari teori kognitif dan teori psikologi. Aspek kognitif mempersoalkan bagaimana seseorang memperoleh pemahaman mengenai dirinya dan lingkungannya dan bagaimana ia berhubungan dengan lingkungan secara sadar. Sedangkan aspek psikologis membahas masalah hubungan atau interaksi antara orang dan lingkungan psikologisnya secara bersamaan. Psikologi kognitif menekankan pada penting proses internal atau proses-proses mental. Menurut teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung.
     Menurut peaget (dalam Hudoyono,1988:45) Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang.
          Diantara para pakar teori kognitif, paling tidak ada tiga yang terkenal yaitu:
          1.  J.Piaget
Menurutnya kegiatan belajar terjadi sesuai dengan pola-pola perkembangan tertentu dan umur seseorang, serta melalui proses asimilasi, akomodasi dan equilibrasi. Tahap-tahap perkembangan itu adalah :
              1.  Tahap Sensorimotor (umur 0-2 tahun)
              2.  Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun)
              3.  Tahap operasional konkret (umur 7/8-11/12 tahun)
              4.  Tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahunn)
Menurutnya , proses belajar akan terjadi jika melalui tahap-tahap asimilasi, akomodasi dan equilibrasi/penyeimbangan. Asimilasi merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan informasi baruke dalam struktur kogniitif yang telah dimiliki oleh seseorang. Akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru, sedangkan equilibrasi merupakan penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
          2.  Brunner
Dengan teorinya free discovery learning mengatakan bahwa belajar terjadi lebih ditentukan oleh cara seseorang mengatur pesan/informasi, dan bukan ditentukan oleh umur. Menurut Brunner tahap perkembangan kognitif terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu:
              a.  Tahap Enaktif, seseorang melakukan aktifitas-aktivitas dalam upayanuntuk memahami lingkungan     sekitarnya, artinya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dsb.
              b.  Tahap Ikonik, seseorang memahami objek-objek/dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal, maksudnya dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan(tampil) dan perbandingan (komparasi).
              c.  Tahap Simbolik, seseorang telah mampuh memiliki ide-ide/gagasan-gagasan abstrak yang sangat mempengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika
          3.  Ausubel
Menurutnya bahwa proses belajar terjadi jika seseorang mampuh mengasimilasikan pengetahuan yang yelah dimilikinya dengan pengetahuan baru. Proses belajar melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.Salam kegiatan pembelajaran, keterlibatan siswa secara aktif amat diperhatikan. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola/logika tertentu, dari sederhana ke kompleks. Perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.

D. Teori Belajar Konstruktivisme
     Konstruktivisme adalah integrasi prinsip yang diekplorasi melalui teori chaos, network, dan teori kekompleksitas dan organisasi diri. Belajar adalah proses yang terjadi dalam lingkungan samar-samar dari peningkatan elemenelemen inti- tidak seluruhnya dikontrol oleh individu. Belajar (didefinisikan sebagai pengetahuan yang dapat ditindak) dapat terletak di luar dirikita (dalam organisasi atau suatu database), terfokus pada hubungan serangkaian informasi yang khusus, dan hubungan tersebut memungkinkan kita belajar lebih banyak dan lebih penting dari pada keadaan yang kita tahu sekarang. Konstruktivisme diarahkan oleh pemahaman bahwa keputusan didasarkan pada perubahan yang cepat. Informasi baru diperoleh secara kontinu, yang penting adalah kemampuan untuk menentukan antara informasi yang penting dan tidak penting. Yang juga penting adalah kemampuan mengetahui kapan informasi berganti (baru). Prinsip-prinsip konstruktivisme sebagaimana yang diungkapkan Siemens (2005) adalah:
     1.  Belajar dan pengetahuan terletak pada keberagaman opini.;
     2.  Belajar adalah suatu proses menghubungkan (connecting)sumber-sumber informasi tertentu;
     3.  Belajar mungkin saja terletak bukan pada alat-alat manusia;
     4.  Kapasitas untuk mengetahui lebih banyak merupakan hal yang lebih penting dari pada apa yang diketahui sekarang;
     5.  Memelihara dan menjaga hubungan-hubungan (connections) diperlukan untuk memfasilitasi belajar berkelanjutan;
     6.  Kemampuan untuk melihat hubungan antara bidang-bidang, ide-ide, dan konsep merupakan inti keterampilan;
     7.  Saat ini (pengetahuan yang akurat dan up-to-date) adalah maksud dari semua aktivitas belajar konektivistik;
     8.  Penentu adalah proses belajar itu sendiri. Pemilihan atas apa yang dipelajari dan makna dari informasi yang masuk nampak melalui realita yang ada.

     Konstruktivisme juga menyatakan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan aktivitas. Pengetahuan yang dibutuhkan dihubungkan (to be connected) dengan orang yang tepat dalam konteks yang tepat agar dapat diklasifikasikan sebagai belajar. Behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme tidak menyatakan tantangan-tantangan dari pengetahuan organisasional dan pergantian (transference). Aliran informasi dalam suatu organisasi merupakan elemen penting dalam hal   efektifitas secara organisasi. Aliran informasi dianalogikan sama dengan pipa minyak dalam sebuah indusri. Menciptakan, menjaga, dan memanfaatkan aliran informasi hendaknya menjadi kunci aktivitas organisasional. Aliran pengetahuan dapat diumpamakan sebagai sebuah sungai yang berliku-liku melalui ekologi suatu organisasi. Di daerah tertentu meluap dan di tempat lain airnya surut. Sehatnya ekologi belajar dari suatu organisasi tergantung pada efektifnya pemeliharan aliran informasi. Analisis jaringan sosial merupakan unsur-unsur tambahan dalam memahami model-model belajar di era digital. Art Kleiner (2002) menguraikan quantum theory of trust milik Karen Stephenson yang menjelaskan tidak hanya sekadar bagaimana mengenal kapabelitas kognitif kolektif dari suatu organisasi, tetapi bagaimana mengolah dan meningkatkannya. Starting point konstruktivisme adalah individu. Pengetahuan personal terdiri dari jaringan, yang hidup dalam organisasi atau institusi, yang pada gilirannya memberi umpan balik pada jaringan itu, dan kemudian terus menerus member pengalaman belajar kepada individu. Gerak perkembangan pengetahuan (personal ke jaringan ke organisasi) memungkinkan pebelajar tetap mutakhir dalam bidangnya melalui hubungan (connections) yang mereka bentuk.

E. Teori Belajar Humanistik
     Teori humanis pula berpendapat pembelajaran manusia bergantung kepada emosi dan perasaannya. Seorang ahli mazhab ini, Carl Rogers menyatakan bahawa setiap individu itu mempunyai cara belajar yang berbeza dengan individu yang lain. Oleh itu, strategi dan pendekatan dalam proses pengajaran dan pembelajaran hendaklah dirancang dan disusun mengikut kehendak dan perkembangan emosi pelajar itu. Beliau juga menjelaskan bahawa setiap individu mempunyai potensi dan keinginan untuk mencapai kecemerlangan kendiri. Maka, guru hendaklah menjaga kendiri pelajar dan member bimbingan supaya potensi mereka dapat diperkembangkan ke tahap optimum. Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
     Tujuan utama teori humanistik adalah pendidik membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes (petunjuk):
     1.  Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas;
     2.  Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum;
     3.  Fasilitator mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi;
     4.  Fasilitator mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka;
     5.  Fasilitator menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok;
     6.  Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok;
     7.  Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain;
     8.  Fasilitator mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa;
     9.  Fasilitator harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
    Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.



Budiningsih, Asri. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.1997.
Muhibbin Syah. Psikologi Belajar. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 2001.
John Muli. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran.http://johnmuli.blogspot.com/2012/06/teori-teori-belajar-dan-pembelajaran.html (diakses pada 26 April 2015 pukul 03:41)
Hasanudin, Teori Belajar Behaviorisme, Kognitif, Konstruktivisme, dan Humanistik, http://hasanudin-bio.blogspot.com/2011/05/teori-belajar-behaviorisme-kognitif.html(diakses pada 26 April 2015 pukul 04:06)
Rudi. Makalah Teori Belajar. http://rudichum.blogspot.com/2014/01/makalah-teori-belajar.html?m=1 (diakses pada 27 April 2015 Pukul 17:00)
Syukri Zulkifli. Makalah Psikologi Pendidikan Teori Belajar. http://syukriadizulkifli.blogspot.com/2013/04/makalah-psikologi-pendidikan-teori.html?m=1 (diakses pada 27 April 2015 pukul 18:30)



[1] John Muli, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, http://johnmuli.blogspot.com/2012/06/teori-teori-belajar-dan-pembelajaran.html (diakses pada 26 April 2015 pukul 03:41)
[2] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu), 2001, hal : 84
[3] Hasanudin, Teori Belajar Behaviorisme, Kognitif, Konstruktivisme, dan Humanistik,http://hasanudin-bio.blogspot.com/2011/05/teori-belajar-behaviorisme-kognitif.html (diakses pada 26 April 2015 pukul 04:06)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar