Belajar adalah “key term” yang paling vital
dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah
ada pendidikan. Menurut (Slameto,2010) belajar didefinisikan sebagai suatu
proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah
laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya, selain itu (Mustaqim dan Abdul Wahib,2010)
mendefinisikan bahwa belajar itu adalah usaha untuk menyesuaikan diri terhadap
kondisi-kondisi atau situasi-situasi di sekitar kita,dalam menyesuaikan diri
itu termasuk mendapatkan kecekatan pengertian-pengertian yang baru ,atau
sikap-sikap yang baru.Jadi dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwasannya belajar itu adalah suatu proses perubahan, perubahan-perubahan itu
tidak hanya perubahan lahir tetapi juga perubahan batin, tidak hanya
perubahan tingkah lakunya yang tampak, tetapi dapat juga perubahan-perubahan
yang tidak dapat diamati. Perubahan-perubahan itu bukan perubahan negatif,
tetapi perubahan yang positif, yaitu perubahan yang menuju ke arah kemajuan
atau ke arah perbaikan. Kata “belajar” itu sendiri sebenarnya sudah lama muncul
didalam persefektif pendidikan, sejak dari manusia baru dilahirkan dimuka bumi
hingga beranjak dewasa dan tua kegiatan belajar masih saja terus dilakukan,
misalnya saja dalam perkembangan kecakapan berbicara. Secara yuridis nasional
Indonesia mengatur sistem pendidikan (yang termasuk belajar) didalam
berbagai ketentuan konstitusional. Baik dalam UUD 1945 maupun dalam berbagai
produk peraturan perundang-undangan lainya.
Teori belajar berpangkal pada pandangan hakikat manusia, yaitu hakikat manusia menurut pandangan John Locke yaitu manusia merupakan organisme yang pasif. Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan ini muncul aliran belajar behavioristik-elementeristik. Sedangkan menurut Leibnitz pandangan mengenai hakikat manusia adalah organism yang aktif. Manusia merupakan sumber daripada semua kegiatan. Pada dasarnya manusia bebas untuk berbuat, manusia bebas untuk membuat pilihan dalam setiap situasi. Titik pusat kebebasan ini adalah kesadarannya sendiri. Dari pandangan ini muncul aliran belajar yaitu belajar kognitif-holistik.
Teori belajar berpangkal pada pandangan hakikat manusia, yaitu hakikat manusia menurut pandangan John Locke yaitu manusia merupakan organisme yang pasif. Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan ini muncul aliran belajar behavioristik-elementeristik. Sedangkan menurut Leibnitz pandangan mengenai hakikat manusia adalah organism yang aktif. Manusia merupakan sumber daripada semua kegiatan. Pada dasarnya manusia bebas untuk berbuat, manusia bebas untuk membuat pilihan dalam setiap situasi. Titik pusat kebebasan ini adalah kesadarannya sendiri. Dari pandangan ini muncul aliran belajar yaitu belajar kognitif-holistik.
Behaviorisme adalah teori
perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons
pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat
dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang
diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi
tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.
Dalam teori belajar ini, yang
terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau out
put yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan respon
dianggap tidak penting diperhatikan, karena tidak dapat diamati dan diukur.
Yang hanya dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa saja
yang diberikan guru (stimulus), dan apa yang dihasilkan siswa (respon),
semuanya dapat diamati dan diukur.[1] Premis dasar teori belajar behavioristik menyatakan bahwa
interaksi antara stimulus respons dan penguatan terjadi dalam suatu proses
belajar. Teori belajar behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar,
yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat. Hasil belajar diperoleh dari
proses penguatan atas respons yang muncul terhadap stimulus yang bervariasi.
Salah satu teori belajar behavioristik connectionism dari Thorndike menyatakan
bahwa belajar merupakan proses coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus.
Respons yang benar akan semakin diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba,
sementara respons yang tidak benar akan menghilang. Dari teori ini
Thorndike mengemukakan hukum belajar yang disebut law of effect artinya jika
sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan
respon akan semakin kuat.sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai
respons, semakin lemah pula hubungan stimulus respons tersebut.[2]
Ciri dari teori belajar behavioristik adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat
mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau
respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil
belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah
munculnya perilaku yang diinginkan. Dalam hal konsep pembelajaran, proses
cenderung pasif berkenaan dengan teori behavioris. Pelajar menggunakan tingkat
keterampilan pengolahan rendah untuk memahami materi dan material sering
terisolasi dari konteks dunia nyata atau situasi. Little tanggung jawab
ditempatkan pada pembelajar mengenai pendidikannya sendiri.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan
(transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.[3]
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan
pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang
menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi
pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada
buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali
isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada
hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara
terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara
“benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar
secara individual.
Langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan
teori behaviorisme dalam proses pembelajaran adalah:
1. Mengidentifikasi tujuan
pembelajaran;
2. Melakukan analisis
pembelajaran;
3. Mengidentifikasi karakteristik
dan kemampuan awal pembelajar;
4. Menentukan indikator-indikator keberhasilan
belajar;
5. Mengembangkan bahan ajar (pokok
bahasan, topik, dll);
6. Mengembangkan strategi
pembelajaran (kegiatan, metode, media dan waktu);
7. Mengamati stimulus yang mungkin
dapat diberikan (latihan, tugas, tes dan sejenisnya);
8. Mengamati dan menganalisis
respons pembelajar;
9. Memberikan penguatan (reinfrocement)
baik posistif maupun negatif; serta
10.Merevisi kegiatan pembelajaran.
Ada beberapa tokoh teori behavioristik.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut antaranya adalah
Thorndike dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh
aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
Menurut Thorndike, belajar adalah
proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang
merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal
lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi
yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan
belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit
yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan
teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut
Thorndike yakni (1) hokum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell,
Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat
memperkuat respon.
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner
tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu
menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebihkomprehensif. Menurut
Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi
dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya
respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus
yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan
mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami
tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus
yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai
konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat
untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab
setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Aliran psikologi belajar yang
sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek
pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.
C. Teori Belajar Kognitivisme
Belajar
seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam
upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan
belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses
belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang
baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
Menurut
teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam bertingkah laku dan
mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-tingkat
perkembangan dan pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap orang memiliki
kepercayaan, ide-ide dan prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya.
Teori
kognitif berasal dari teori kognitif dan teori psikologi. Aspek kognitif
mempersoalkan bagaimana seseorang memperoleh pemahaman mengenai dirinya dan
lingkungannya dan bagaimana ia berhubungan dengan lingkungan secara sadar.
Sedangkan aspek psikologis membahas masalah hubungan atau interaksi antara
orang dan lingkungan psikologisnya secara bersamaan. Psikologi kognitif
menekankan pada penting proses internal atau proses-proses mental. Menurut
teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang tidak
dapat diamati secara langsung.
Menurut
peaget (dalam Hudoyono,1988:45) Manusia berhadapan dengan tantangan,
pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif
(mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau
rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan
pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang
terbentuk dan selalu berkembang.
Diantara para pakar teori
kognitif, paling tidak ada tiga yang terkenal yaitu:
1. J.Piaget
Menurutnya kegiatan belajar
terjadi sesuai dengan pola-pola perkembangan tertentu dan umur seseorang, serta
melalui proses asimilasi, akomodasi dan equilibrasi. Tahap-tahap perkembangan
itu adalah :
1. Tahap Sensorimotor (umur 0-2 tahun)
2. Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun)
3. Tahap operasional konkret (umur 7/8-11/12 tahun)
4. Tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahunn)
Menurutnya , proses belajar akan terjadi jika melalui
tahap-tahap asimilasi, akomodasi dan equilibrasi/penyeimbangan. Asimilasi
merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan informasi baruke dalam struktur
kogniitif yang telah dimiliki oleh seseorang. Akomodasi merupakan proses
penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru, sedangkan equilibrasi
merupakan penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
2. Brunner
Dengan teorinya free
discovery learning mengatakan bahwa belajar terjadi lebih ditentukan
oleh cara seseorang mengatur pesan/informasi, dan bukan ditentukan oleh umur.
Menurut Brunner tahap perkembangan kognitif terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu:
a. Tahap
Enaktif, seseorang melakukan aktifitas-aktivitas dalam upayanuntuk memahami
lingkungan sekitarnya, artinya dalam memahami dunia sekitarnya
anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dsb.
b. Tahap Ikonik,
seseorang memahami objek-objek/dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi
verbal, maksudnya dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk
perumpamaan(tampil) dan perbandingan (komparasi).
c. Tahap Simbolik,
seseorang telah mampuh memiliki ide-ide/gagasan-gagasan abstrak yang sangat
mempengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika
3. Ausubel
Menurutnya bahwa proses belajar terjadi jika seseorang mampuh
mengasimilasikan pengetahuan yang yelah dimilikinya dengan pengetahuan baru.
Proses belajar melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna
stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.Salam
kegiatan pembelajaran, keterlibatan siswa secara aktif amat diperhatikan. Untuk
menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan
baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Materi pelajaran
disusun dengan menggunakan pola/logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
Perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini
sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.
D. Teori Belajar Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah integrasi prinsip yang diekplorasi
melalui teori chaos, network, dan teori kekompleksitas dan
organisasi diri. Belajar adalah proses yang terjadi dalam lingkungan
samar-samar dari peningkatan elemenelemen inti- tidak seluruhnya dikontrol oleh
individu. Belajar (didefinisikan sebagai pengetahuan yang dapat ditindak) dapat
terletak di luar dirikita (dalam organisasi atau suatu database),
terfokus pada hubungan serangkaian informasi yang khusus, dan hubungan tersebut
memungkinkan kita belajar lebih banyak dan lebih penting dari pada keadaan yang
kita tahu sekarang. Konstruktivisme diarahkan oleh pemahaman bahwa
keputusan didasarkan pada perubahan yang cepat. Informasi baru diperoleh secara
kontinu, yang penting adalah kemampuan untuk menentukan antara informasi yang
penting dan tidak penting. Yang juga penting adalah kemampuan mengetahui kapan
informasi berganti (baru). Prinsip-prinsip konstruktivisme sebagaimana yang
diungkapkan Siemens (2005) adalah:
1. Belajar dan pengetahuan
terletak pada keberagaman opini.;
2. Belajar adalah suatu proses menghubungkan (connecting)sumber-sumber
informasi tertentu;
3. Belajar mungkin saja terletak
bukan pada alat-alat manusia;
4. Kapasitas untuk mengetahui lebih banyak merupakan hal
yang lebih penting dari pada apa yang diketahui sekarang;
5. Memelihara dan menjaga hubungan-hubungan (connections)
diperlukan untuk memfasilitasi belajar berkelanjutan;
6. Kemampuan untuk melihat hubungan antara bidang-bidang,
ide-ide, dan konsep merupakan inti keterampilan;
7. Saat ini (pengetahuan yang akurat dan up-to-date)
adalah maksud dari semua aktivitas belajar konektivistik;
8. Penentu adalah proses belajar itu sendiri. Pemilihan
atas apa yang dipelajari dan makna dari informasi yang masuk nampak melalui
realita yang ada.
Konstruktivisme juga menyatakan tantangan yang dihadapi
dalam pengelolaan aktivitas. Pengetahuan yang dibutuhkan dihubungkan (to be
connected) dengan orang yang tepat dalam konteks yang tepat agar dapat
diklasifikasikan sebagai belajar. Behaviorisme, kognitivisme, dan
konstruktivisme tidak menyatakan tantangan-tantangan dari pengetahuan
organisasional dan pergantian (transference). Aliran informasi dalam
suatu organisasi merupakan elemen penting dalam hal efektifitas
secara organisasi. Aliran informasi dianalogikan sama dengan pipa minyak dalam
sebuah indusri. Menciptakan, menjaga, dan memanfaatkan aliran informasi
hendaknya menjadi kunci aktivitas organisasional. Aliran pengetahuan dapat
diumpamakan sebagai sebuah sungai yang berliku-liku melalui ekologi suatu
organisasi. Di daerah tertentu meluap dan di tempat lain airnya surut. Sehatnya
ekologi belajar dari suatu organisasi tergantung pada efektifnya pemeliharan
aliran informasi. Analisis jaringan sosial merupakan unsur-unsur tambahan dalam
memahami model-model belajar di era digital. Art Kleiner (2002)
menguraikan quantum theory of trust milik Karen Stephenson
yang menjelaskan tidak hanya sekadar bagaimana mengenal kapabelitas kognitif
kolektif dari suatu organisasi, tetapi bagaimana mengolah dan meningkatkannya. Starting
point konstruktivisme adalah individu. Pengetahuan personal terdiri
dari jaringan, yang hidup dalam organisasi atau institusi, yang pada gilirannya
memberi umpan balik pada jaringan itu, dan kemudian terus menerus member
pengalaman belajar kepada individu. Gerak perkembangan pengetahuan (personal ke
jaringan ke organisasi) memungkinkan pebelajar tetap mutakhir dalam bidangnya
melalui hubungan (connections) yang mereka bentuk.
E. Teori Belajar Humanistik
Teori humanis pula
berpendapat pembelajaran manusia bergantung kepada emosi dan perasaannya.
Seorang ahli mazhab ini, Carl Rogers menyatakan bahawa setiap individu itu
mempunyai cara belajar yang berbeza dengan individu yang lain. Oleh itu,
strategi dan pendekatan dalam proses pengajaran dan pembelajaran hendaklah
dirancang dan disusun mengikut kehendak dan perkembangan emosi pelajar itu.
Beliau juga menjelaskan bahawa setiap individu mempunyai potensi dan keinginan
untuk mencapai kecemerlangan kendiri. Maka, guru hendaklah menjaga kendiri
pelajar dan member bimbingan supaya potensi mereka dapat diperkembangkan ke
tahap optimum. Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk
memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha
agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori
belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya,
bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama teori humanistik adalah pendidik membantu
siswa untuk mengembangkan dirinya, untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai
manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam
diri mereka. Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai
fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan
belajar dan berbagai kualitas fasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat
singkat dari beberapa guidenes (petunjuk):
1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada
penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas;
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas
tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang
bersifat umum;
3. Fasilitator mempercayai adanya keinginan dari
masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi
dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang
bermakna tadi;
4. Fasilitator mencoba mengatur dan menyediakan
sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa
untuk membantu mencapai tujuan mereka;
5. Fasilitator menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu
sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok;
6. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok
kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan
dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual
ataupun bagi kelompok;
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator
berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut
berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya
sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain;
8. Fasilitator mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam
kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak
memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan
atau ditolak oleh siswa;
9. Fasilitator harus tetap waspada terhadap
ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama
belajar.
Di dalam berperan sebagai seorang
fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima
keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
Budiningsih, Asri. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Rineka Cipta.1997.
Muhibbin Syah. Psikologi Belajar. Jakarta : Logos
Wacana Ilmu. 2001.
John Muli. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran.http://johnmuli.blogspot.com/2012/06/teori-teori-belajar-dan-pembelajaran.html (diakses pada 26 April 2015 pukul 03:41)
Hasanudin, Teori Belajar Behaviorisme, Kognitif,
Konstruktivisme, dan Humanistik, http://hasanudin-bio.blogspot.com/2011/05/teori-belajar-behaviorisme-kognitif.html(diakses pada 26 April 2015 pukul 04:06)
Rudi. Makalah Teori Belajar. http://rudichum.blogspot.com/2014/01/makalah-teori-belajar.html?m=1 (diakses pada 27 April 2015 Pukul 17:00)
Syukri Zulkifli. Makalah Psikologi Pendidikan Teori
Belajar. http://syukriadizulkifli.blogspot.com/2013/04/makalah-psikologi-pendidikan-teori.html?m=1 (diakses pada 27 April 2015 pukul 18:30)
[1] John Muli, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, http://johnmuli.blogspot.com/2012/06/teori-teori-belajar-dan-pembelajaran.html (diakses pada 26 April 2015 pukul 03:41)
[2] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta : Logos Wacana
Ilmu), 2001, hal : 84
[3] Hasanudin, Teori Belajar Behaviorisme, Kognitif,
Konstruktivisme, dan Humanistik,http://hasanudin-bio.blogspot.com/2011/05/teori-belajar-behaviorisme-kognitif.html (diakses pada 26 April 2015 pukul 04:06)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar